contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Kamis, 05 Agustus 2010

0
Rabu, 17 Februari 2010

Macam Musik Jazz

Di manakah titik temu antara jazz dan gamelan Jawa? Kedua jenis musik yang mewakili dunia Barat dan Timur itu dapat dipertemukan di atas semangat kemerdekaan dan keterbukaannya. Jika didukung keterampilan improvisasi yang baik, perpaduan itu bisa menjanjikan adonan musik yang segar.

Kelompok musik asal Yogyakarta, Kuaetnika, mencoba menyuguhkan perpaduan jazz-Jawa semacam itu pada pertunjukan Vertigong di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 7-8 Mei lalu. Ada 10 repertoar yang ditampilkan, dan semuanya karya Purwanto. Turut memperkaya pentas itu, musikus Djaduk Ferianto, penyanyi tenor Christopher Abimanyu, serta penyanyi Trie Utami.



Perpaduan jazz dan Jawa itu terlihat jelas pada pilihan instrumen musik yang diusung di atas panggung. Drum, keyboard, gitar, dan bas dianggap mewakili semangat jazz, sedangkan spirit Jawa tercermin pada bonang, gender, suling, kendang, dan gambang. Lalu, saat alat-alat itu dipadukan dalam adonan yang cair, terasalah betapa berbagai jenis instrumen yang lahir dari budaya yang berbeda itu bisa terakit dengan asyik, bahkan pada tingkat yang begitu spontan.

Sebuah komposisi berjudul Me-Grand yang lekat dengan nuansa jazz membuka pertunjukan. Nomor berikutnya, Gumarenggeng, lebih kental warna Jawa karena hanya memainkan gamelan gender penerus, gender barung, gender penembung (slentem). Repertoar Terarus menyajikan dominasi alunan suling, yang seakan mengajak penonton menjelajah sungai yang berlikuk-likuk di pedalaman.

Pada nomor Gambang Cerawak, enam orang tampil keroyokan dengan memukuli satu gambang. Ini sebuah kerja sama yang apik sekaligus menunjukkan keterampilan menggali potensi bunyi yang lincah. Begitulah, sebuah alat gamelan Jawa ternyata bisa menghasilkan irama jazz yang rancak.

Christopher Abimanyu memperkuat nomor Tumungkul. Sedangkan Trie Utami dan Djaduk Ferianto beradu vokal pada nomor Sekedap. Suara I’ie (panggilan akrab Tri utami) yang empuk-melengking dan suara Djaduk yang serak-berat bisa sahut-menyahut sehingga memperkaya persekutuan bebunyian yang mengalir.

Nomor Uababauw mempertontonkan seluruh personel (Purwanto, Budi Pramono, Indra Gunawan, Agus Wahyudi, Dhanny Rriawan, Zulhamdani, Benny Fuad, Sukoco, dan Nyaman Cau) yang berteriak, bergumam, atau saling celetuk sehingga membentuk bebunyian yang kocak sekaligus harmonis. Pendekatan serupa diterapkan pada nomor Clap-Tone, yang melibatkan tepuk tangan penonton. Vertigong sendiri adalah nomor terakhir yang menutup pentas.
Improvisasi

Pentas Vertigong seperti jadi bukti, betapa semua personel Kuaetnika cukup kompak dalam mengolah dan merakit jazz dan Jawa dengan spirit improvisasi yang tinggi. Meski tetap berpijak pada komposisi ciptaan Purwanto, dalam praktiknya, setiap personel masih punya ruang untuk bermain-main. Setiap alat musik bisa dihidupkan, keluar masuk, saling menyahut dengan spontan, sampai akhirnya menciptakan keselarasan bunyi.
pentas ini menerapkan pendekatan yang lebih luwes. Para pemain melebur dalam proses bersama yang dilakoni dengan jujur. Artinya, semua jenis alat musik tidak digunakan sebagai instrumen yang punya pakem musikal masing-masing, tetapi diperlakukan sebagai sumber bunyi yang bebas dipetik, ditiup, atau ditabuh.”Saat bermain, melodi bisa jadi perkusi, dan perkusi bisa jadi melodi. Drum bisa jadi melodi, sebaliknya seruling yang melodis bisa ditiup patah-patah sehingga menghasilkan bunyi perkusi,

Jazz diserap dari sisi kemerdekaannya, sedangkan Jawa dimaknai sebagai spirit sinkretis yang bertumpu pada olah rasa.

Macam Musik Jazz

Di manakah titik temu antara jazz dan gamelan Jawa? Kedua jenis musik yang mewakili dunia Barat dan Timur itu dapat dipertemukan di atas semangat kemerdekaan dan keterbukaannya. Jika didukung keterampilan improvisasi yang baik, perpaduan itu bisa menjanjikan adonan musik yang segar.

Kelompok musik asal Yogyakarta, Kuaetnika, mencoba menyuguhkan perpaduan jazz-Jawa semacam itu pada pertunjukan Vertigong di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 7-8 Mei lalu. Ada 10 repertoar yang ditampilkan, dan semuanya karya Purwanto. Turut memperkaya pentas itu, musikus Djaduk Ferianto, penyanyi tenor Christopher Abimanyu, serta penyanyi Trie Utami.

Perpaduan jazz dan Jawa itu terlihat jelas pada pilihan instrumen musik yang diusung di atas panggung. Drum, keyboard, gitar, dan bas dianggap mewakili semangat jazz, sedangkan spirit Jawa tercermin pada bonang, gender, suling, kendang, dan gambang. Lalu, saat alat-alat itu dipadukan dalam adonan yang cair, terasalah betapa berbagai jenis instrumen yang lahir dari budaya yang berbeda itu bisa terakit dengan asyik, bahkan pada tingkat yang begitu spontan.


Sebuah komposisi berjudul Me-Grand yang lekat dengan nuansa jazz membuka pertunjukan. Nomor berikutnya, Gumarenggeng, lebih kental warna Jawa karena hanya memainkan gamelan gender penerus, gender barung, gender penembung (slentem). Repertoar Terarus menyajikan dominasi alunan suling, yang seakan mengajak penonton menjelajah sungai yang berlikuk-likuk di pedalaman.

Pada nomor Gambang Cerawak, enam orang tampil keroyokan dengan memukuli satu gambang. Ini sebuah kerja sama yang apik sekaligus menunjukkan keterampilan menggali potensi bunyi yang lincah. Begitulah, sebuah alat gamelan Jawa ternyata bisa menghasilkan irama jazz yang rancak.

Christopher Abimanyu memperkuat nomor Tumungkul. Sedangkan Trie Utami dan Djaduk Ferianto beradu vokal pada nomor Sekedap. Suara I’ie (panggilan akrab Tri utami) yang empuk-melengking dan suara Djaduk yang serak-berat bisa sahut-menyahut sehingga memperkaya persekutuan bebunyian yang mengalir.

Nomor Uababauw mempertontonkan seluruh personel (Purwanto, Budi Pramono, Indra Gunawan, Agus Wahyudi, Dhanny Rriawan, Zulhamdani, Benny Fuad, Sukoco, dan Nyaman Cau) yang berteriak, bergumam, atau saling celetuk sehingga membentuk bebunyian yang kocak sekaligus harmonis. Pendekatan serupa diterapkan pada nomor Clap-Tone, yang melibatkan tepuk tangan penonton. Vertigong sendiri adalah nomor terakhir yang menutup pentas.
Improvisasi

Pentas Vertigong seperti jadi bukti, betapa semua personel Kuaetnika cukup kompak dalam mengolah dan merakit jazz dan Jawa dengan spirit improvisasi yang tinggi. Meski tetap berpijak pada komposisi ciptaan Purwanto, dalam praktiknya, setiap personel masih punya ruang untuk bermain-main. Setiap alat musik bisa dihidupkan, keluar masuk, saling menyahut dengan spontan, sampai akhirnya menciptakan keselarasan bunyi.
pentas ini menerapkan pendekatan yang lebih luwes. Para pemain melebur dalam proses bersama yang dilakoni dengan jujur. Artinya, semua jenis alat musik tidak digunakan sebagai instrumen yang punya pakem musikal masing-masing, tetapi diperlakukan sebagai sumber bunyi yang bebas dipetik, ditiup, atau ditabuh.”Saat bermain, melodi bisa jadi perkusi, dan perkusi bisa jadi melodi. Drum bisa jadi melodi, sebaliknya seruling yang melodis bisa ditiup patah-patah sehingga menghasilkan bunyi perkusi,

Jazz diserap dari sisi kemerdekaannya, sedangkan Jawa dimaknai sebagai spirit sinkretis yang bertumpu pada olah rasa.

0
Rabu, 03 Februari 2010



Arti sebuah musik


Sejarah perkembangan musik


Pada juli 1965 merilis “like a rolling stone.lagu ini segera mencapai posisi 2 di tangga lagu USA dan 4 di inggris.berdurasi 6.13 menit lagu ini memiliki pengaruh luas dalam tatanan musik pop. Majalah musik amerika rolling stone mendaulat lagu ini sebagai lagu rock n roll terbaik sepanjang zaman. Sepanjang sejarah, kita mencatat sejumlah individu, sejumlah pribadi, yang mengukir namanya dengan tinta emas.

Mereka turut membentuk sejarah, mewarnai peradaban manusia dengan kiprah mereka. Adanya mereka berbeda dengan tiadanya mereka. saat peresmian Bob Dylan sebagai salah seorang yang berhak masuk dalam The Rock & Roll Hall of Fame, musisi kenamaan Bruce Springsteen menyatakan dalam orasinya bahwa, ”Bob telah membebaskan pikiran kita seperti halnya Elvis membebaskan tubuh kita dengan lagu-lagunya… Ia telah mengubah wajah rock and roll untuk selamanya.” Menariknya disini, Rebecca menyandingkan Taufiq Ismail dengan Bob Dylan, pemain musik folk dari Amerika, yang karya-karyanya juga lahir setelah perang dan membawa pembebasan. Karya-karya Taufiq dan Dylan menjadi wakil sejarah perang dan pembebasan, dan menjadi penting di negaranya masing-masing.



Sehingga bisa dikatakan posisi Taufiq Ismail dalam sastrawan dunia merupakan penyair pembebasan yang karyanya sebanding dengan yang terdapat dalam bahasa dan budaya lain. Bob Dylan mengatakan “The answer, my friend, is blowing in the wind.” Jawabannya ada pada kita semua, berhembus ikut angin dan harus kita tangkap senditri. Orang bisa minum banyak obat untuk kuat jalan, tapi sebenarnya yang menyembuhkan penyakit kaki adalah semangat untuk bisa berjalan. Semangat itu bisa ditemukan dalam diri sendiri dengan bantuan orang yang peduli. Like a rolling stone dari album highway 61 revisited.direkam 16 juni dan dirilis lagu ini masuk chart 4 hari kemudian. Jika liriknya merusak semua aturan penulisan lagu saat itu.

Musiknya sendiri menjadi megah dibuka oleh suara organ yang oleh bruce sprinsteen disebuat bagai pukulan snare yang terdengar seperti seseorang yang menendang pintu menuju otak sampai terbuka.ekspresifnya gitar yang bersahuta dengan organ, dibarengi oleh suara anaka muda yang berteriak dengan fasih, menggertak dan demikian sinis. Dan teriakan how does it feel yang berulang-ulang. Awal lagu-proses penciptaan-lirik-lirik-kmentar Dylan sendiri-perjalanan-lagu-pengaruh-pengaruh-kesimpulan-komentar pribadi. Dengan benyaknya program sampah..musik dylan masih relevan,tapi pertanyaannya adalah seberapa banyak anak muda yang mendengarkan karyanya..jawabannya is blowin in the wind, my friend. Tapi arti sebuah musik adalah tidak hanya sekedar pencarian terhadap pelarian lowongan cari kerja. Tapi lebih dari itu untuk cari identitas dari suatu seni yang sangat tak terbatas.

0

Blog Tricks

Easy Blog Tricks

music

Latest Grunge

Rank


ShoutMix chat widget

menu

Powered By Blogger

Links

Followers